Mengenai Saya

Foto saya
saya adalah saya, bukan anda atau dia.

Kamis, 27 Agustus 2009

aku muak....

muak aku dengan cinta....
selalu membawa luka dan kepedihan
muak aku dengan dia..
tak bosan membuat rindu dalam kalbu
muak aku dengan diriku...
yangtak pernah bisa lupakan dia semenitpun.....

luka yang lalu

tak lama telah ku tinggal hati yang lusuh
dan baru saja ku obati luka yang sedikit kering
lalu kumasuki celah-celah baru yang kurasa penuh bahagia
kuharap jikalau Tuhan baik.......
memperkenankan aku sehat tanpa luka dalam hati
namun.....
semakin ku dalam bahagia....
cinta yang telah lalu semakin terkuak, menyobek hati
runyam sudah.........
terlanjur hati ini tersayat karena masalalu...
dan.....
bukan masalalu datang
tapi rupanya ia terulang dan menjadi jarum dalam dagingku...

Jumat, 21 Agustus 2009

Ku kan bertahan

Begitu susah ku bangkit
Meratap tak bernasib
Akankah aku berdiri
Dan kembali menentang jati diri

Begitu berat ku melangkah
Menggapai asa yang telah
Tak berbuah....
Bisakah aku kembali menatap matanya...

Air mata terurai
Deras membanjiri mata
Namun ku tetap bertahan
Meski ku tahu tak lama lagi
Aku
Kan pergi....

Selama masih ada cinta, selama masih ada rasa
Selama hati masih bergetar
Ketika mendengar suaranya
Aku kan tetap bertahan
Sampai akhir hayat menjerat
Aku akan tetap bertahan
Meski ku tahu ku tak mampu

Cinta tiada asa...
Benci tiada guna
Tapi......
Ku tetap bisa
Selama semua masih ada...




By: Anisatul I.F.

Sepucuk surat untuk ayah



Siangpun bagai malam
Cerahpun jadi resah
Dan.....
Bahagia laksana petaka

Aku duduk termangu
Menunggu kereta kudamu tuk menjemputku
Lama-lama aku terbaring lesu
Bosan menunggu uluran tanganmu

Dan akhirnya.....aku benar-benar tergeletak
Tanpa ada suara dan rasa
Sepucuk Surat Untuk Ayah


Malam semakin larut. Udara dingin sudah merasuk ke paru-paruku. Seperti yang Dokter Hasan bilang, sesaat kemudian dadaku terasa sesak. Penyakit ini cukup membuatku repot jika keluar malam tanpa obat. Berat sekali rasanya. Seola-olah paru-paruku penuh dengan air dan gelembung. Akhirnya aku duduk sejenak, dan mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. Paru-paru basah!! Aku sudah menderita ini sejak kecil. Kata Ayah, nenek meninggal karena penyakit ini. Begitu pula Ibu yang tidak menemani aku selama lima belas tahun. Hampir semua anggota keluargaku meninggal karena penyakit ini. Kata Ayah, ini penyakit terkutuk. Maka dari itu, ayah tak pernah meninggalkan aku sendiri. Kemanapun langkahku menyeret tubuh ini, Ayah selalu ada disampingku. Bahkan, ia takkan rela sedikitpun jika aku keluar dengan orang lain. Aku senang, aku bahagia memiliki Ayah yang over protection. Tapi kadang aku risih. Aku risih jika dalam usiaku yang menginjak 23 tahun ini masih terus berjalan bersama Ayah. Seharusnya aku berjalan bersama seorang pangeran yang mencintai dan aku cintai. Tapi hampir 6 orang yang melamarku, Ayah menolaknya mentah-mentah. Dengan alasan, ia tak mau kehilangan aku.


Matahari terasa ditas ubun-ubun kepala manusia. Sinarnya menyengat dan seolah-olah membakar tiap manusia yang keluar siang itu. Namun aku tetap melaju tanpa menghiraukan panasnya matahari. Tepat di gedung besar dan megah bercat putih aku berhenti. Inilah kantor Ayah. Rumah sakit Abdi Jaya. Kemudian aku masuk. Ku terobos lorong demi lorong dan pintu demi pintu. Banyak orang yang menyapaku. Memang, hampir seluruh penghuni rumah sakit kenal denganku. Aku tak pernah absen ke sini untuk menemui Ayah dan mengikuti jadwalku yang Ayah buat.

“ayah...”

Lelaki itu tersenyum mendapat kecupan dariku. Aku memandangnya lalu duduk tepat di depannya. Ayah memandangiku dengan aneh. Mata tua itu tampak letih. Tapi penuh keceriaan ketika melihatku. Sepertinya aku lebih berharga dari pada nyawanya.

“gimana hari ini yah? Pasien banyak?”

“hm... lumayan. Gimana seminarmu? Kamu gak lupa bawa obat kan?”

“beres!! Aku tampil dengan menawan. Semua orang memujiku saat aku menyanyi tadi.”

“kamu menyanyi?”

“peserta memaksaku.......”

“ya...ya...ya... jika sebuah acara mengundang narasumber seorang entertain, maka narasumber itu akan di gojloki habis. Lagu apa yang kamu pilih sayang?”

“lagu yang Ayah suka.”

“oh...ya? ok!!! Kalo begitu kita pulang sekarang. Sudah siang. Ayo...”

“ok!!”

Lalu ayah membereskan meja kerjanya dan menyandang tasnya. Aku berdiri menunggunya didepan pintu. Akhirnya Ayah menggandengku dan kami keluar ruangan. Betapa terkejutnya kami melihat Suster yang mondar-mandir mengerubungi kursi roda. Aku dan Ayah saling bertatap muka.

“ada apa ini?”

“kita lihat yuk, yah...”

Aku dan Ayah melihat kursi roda itu. Tidak ada yang mencemaskan. Hanya seorang lelaki pingsan di atas kursi roda tersebut. Lelaki itu pucat sekali. Kira-kira umurnya 5-6 tahun diatasku. Ayah membatalkan pulang dan menyuruhku untuk menunggunya di ruangannya. Ya.. inilah repotnya punya Ayah seorang Dokter. Padahal aku ingin cepat pulang dan tidur. Aku capek sekali. Jika aku bilang ingin pulang sendiri, Ayah pasti melarang. Katanya, Ayah keluar ruangan pukul 21.00 WIB. Saat aku telah tertidur lelap di ruang kerjanya.

Tiba-tiba saja mataku mengatub-ngatub. Wajah Ayah nampak tersenyum dikelilingi bintang-bintang. Mungkin Karena mataku masih begitu lengket. Aku berbalik tersenyum. Wajah itu nampak memperhatikanku dengan cemas.

“Ayah... kenapa aku disini? Bukannya aku tidur di rumah sakit?”

“Ayah menggendongmu.... ayo bangun! Kita sarapan dan ke rumah sakit.”

“rumah sakit? Buat apa?”

“ayolah... ayah tidak mau kamu sendirian..”

“Ayah... aku capek sekali.”

“sayang, ayolah...”

“ayah...”

“ayah tunggu dibawah...”

Dengan malasnya aku menggeser tubuhku dan bangkit. Aku berharap hari ini aku bisa istirahat dan nonton TV dirumah. Aku ingin melihat acara seminarku kemarin. Pasti acara seperti itu diliput diseputar gosib. Maklum, susah jadi entertain. Tapi harapan itu sirna. Lagi-lagi kecemasan Ayah yang tak beralasan menggagalkan rencanaku. Well, ini memang untuk kebaikanku. Tapi aku bukan anak kecil lagi.

Aku tak punya pilihan lain kecuali ikut Ayah memeriksa pasiennya yang pingsan kemarin. Untung saja pasiennya ganteng. He...he...he... genit!! Tapi ada yang janggal dengan lelaki itu. Tatapan matanya lurus, seperti menerawang jauh. Tapi aku tahu tatapan itu kosong. Seperti mengharap sesuatu yang tak mungkin. Entahlah... aku tak bisa menerka-nerka lagi. Aku capek!!

Tapi pasien ini memang menarik. Sekalipun ada artis cantik didepannya, ia tetap stay cool. Dingin dan diam membisu. Mengapa ia tak tertarik padaku? Wajahku cantik, bodyku sexy, dan pancaran mataku sudah cukup membuat orang yang memandangnya mengerti kalau aku berpengetahuan luas. Aku jadi penasaran, seperti apa orang ini?

Ayah mengajakku pulang agak malam. Jadi kami mampir dulu ke rentauran untuk makan malam. Lagi-lagi aku duduk di depan ayah. Aku bosan dengan suasana seperti ini. Seharusnya seorang pangeran duduk di depanku dan memegang tanganku. Lalu memasang cinci berlian di jari kelingkingku. Tapi selama ini belum ada yang berani berbicara dengan Ayah untuk meminangku.

Semenit kemudian makanan yang kami pesan datang. Kami makan dengan lahap. Seharian di rumah sakit membuat aku dan Ayah lapar. Rumah sakit? Aku jadi teringat akan pesien Ayah tadi.

“Ayah... aku boleh nanyak?”

“hm...”

“pasien Ayah yang pingsan kemarin itu namanya siapa? Terus, dia sakit apa sih?”

“namanya Steven. Kasihan dia. Dia mengidap penyakit mematikan. Kanker darah.”

“kanker darah? Steven? Seperti namaku.”

“iya... Stevie.... memang kenapa?”

“gak. Aku Cuma pengen tahu aja. Dan aku pengen jadi’in dia objek penelitianku.”

“oh....”

“Ayah.... apakah faktor psikis juga mempengaruhi presentase kehidupan bagi pengidap penyakit mematikan?”

“tentu saja. Faktor psikis adalah komponen utama. Jika ia bersedih, maka presentasenya akan turun. Dan jika ia bahagia, 2% kehidupan bisa menjadi 20% bagi mereka.”

Mendengar penjelasan Ayah, dadaku seakan terhempas angin yang kencang. Entah mengapa aku ingin menolong pasien itu. Aku ingin ia tetap hidup. Aku ingin mengubah 2% miliknya menjadi 20%. Meski aku tahu, cepat atau lambat aku juga akan mati membawa paru-paru basah ini. Tapi aku sangat optimis. Besok, selepas dari kampus, aku akan ke rumah sakit. Aku akan memulai aksiku.

“hey... melamun?”

“Ayah...... Ayah... bisa panggil namaku?”

“iya Stevie.... ada apa sayang? Pulang yuk?”

“ok!!”

Aku mengangguk dan tersenyum. Mungkin setelah aku berteman dengan Steven nanti, aku akan semangat ke rumah sakit. Steven.... tunggu aku.


Langkahku penuh semangat sore ini. Semua terasa ringan dengan optimisku yang kubawa untuk Seven. Kumasuki ruangan kerja Ayah.

“sore Ayah....”

“iya sayang, “

“boleh aku ke tempat Steven?”

“buat apa?”

“penelitian di kampus.”

“silahkan...”

Ayah mempersilahkanku masuk untuk menemui Steven. Lelaki itu telah berdiri tegak menghadap jendela. Ia nampak memandangi matahari yang tinggal sejengkal dari ujung barat. Aku masuk dan menyapanya.

“sore...”

Tatapan sinisnya beralih melihatku.

“kenalkan, aku Stevie Alexandra. Kita bisa sedikit berbincang-bincang?”

“dari lembaga mana lagi yang ingin meneliti psikisku?”

Deg...deg...deg....!! ia bilang lembaga. Ia pasti bosan dengan psikiater yang mengadakan terapi untuknya. Mungkin karena pertanyaanku tadi sama dengan kebanyakan psikiater dalam meneliti pasien. Tak apalah!! Aku tersenyum dan menurunkan tanganku yang sama sekali tak dijabat olehnya.

“bukan. Aku Stevie... anak dari Dokter Jim. Aku ingin berteman dengamu..”

“jangan bilang dokter Jim yang menyuruhmu...”

“berfikirlah positif, aku hanya ingin berteman denganmu”

“karena apa?”

“karena kita sama.”

“sama?”

“iya. Kita sama-sama memiliki penyakit yang bisa membuat kita mati malam ini juga.”

Sejenak lelaki itu menoleh ke arahku. Akupun menatapnya dengan sorot mata meyakinkan. Steven menghela napas. Lalu mengerutkan keningnya dan menghampiriku.

“emang kamu sakit apa?”

“paru-paru basah. Semua keluargaku meninggal karena penyakit itu.”

“bukannya itu bisa disembuhkan?”

“ini penyakit keturunan. Aku keturunan terakhir yang mewarisi penyakit jahanam ini. Jadi aku gak takut kalo aku mati. Aku Cuma butuh seorang teman. Dan aku mau itu kamu.”

“kenapa?”

“jika aku mati dulu, aku gak akan nyakitin kamu terlalu lama. Karena kamu juga akan menyusulku. Dan sebaliknya, jika kamu mati dulu, aku akan segera menyusulmu.”

Sesaat hening. Steven melayangkan pandangannya ke arah lain. Ia terlihat bingung. Aku terus menatapnya, berharap ia akan mengiyakan permintaanku. Sesekali ia menghela napas.

“tapi aku gak sederajat sama kamu. Aku belum bisa apa-apa.”

Aku tersenyum simpul. Aku tahu anak ini merendah. Kuraih tangannya dan menatapnya dengan yakin. Dia pun kaget. Tapi ia membiarkan tangannya yang dingin aku pegang.

“aku sahabatmu... dan sahabat tidak melihat sahabatnya dari sebuah materi.”

“makasih... sahabat!!”

Kami tertawa bersama. Akhirnya aku dan Steven bisa berteman. Lega rasanya. Aku sangat optimis. Optimis untuk merubah 2% menjadi 20% untuk Steven. Sekalipun aku adalah mayat berjalan dan boneka Ayah, aku bisa!! Aku bisa membagi cintaku untuk mereka.

Aku dan Steven berteman baik. Kami sering bercanda dan bermain bersama. Jika Ayah bertanya aku selalu menjawab ini untuk penelitian dan terapi. Untung saja aku kuliah di fakultas Psikologi. Jadi nyambung dengan kebohongan ini. Steven sangat baik. Ia sopan dan sangat menghormati wanita. Lama-lama aku menaruh hati padanya. Jantung terasa berdetak lebih kencang jika ia dekat denganku. Apalagi jika mata kami saling bertemu. Serasa dunia milik berdua.

Hubunganku dengan Steven makin hari makin dekat dan akrab. Kami mulai berani untuk menemukan kebahagiaan diluar sana. Malam ini adalah malam pertama aku keluar dengan seorang lelaki selain Ayah. Dia mengajakku ke restauran. Aku duduk tepat didepannya. Sama seperti suasana yang aku impikan selama berjalan dengan Ayah. Angan-angan itu sekarang terwujud. Akhirnya!!!

“Stevie...”

“iya...”

“menurut kamu, cinta itu apa?”

“cinta itu halus, lembut dan kuat.”

“bisa jelaskan?”

“halus, ia menyusup ke relung manusia dengan halus. Lembut, ia menjadikan orang yang jatuh cinta menjadi lembut. Dan kuat, ia bisa menjadi kekuatan yang kuat untuk membentengi diri.”

“lalu?”

“tapi jika berlebih, ia bisa menjadi pembunuh darah dingin.”

“oh... aku pinjam tanganmu...”

Steven meraih tangan kiriku dan menggenggemnya erat. Aku agak kaget. Kemudian, memasang cicin berlian di jari kelingkingku. Ini ajaib. Aku mendapatkan angan-angan itu.

“gimana kalo aku punya prinsib lain tentang cinta?”

“apa?”

“cinta adalah dirimu... maukah kamu menerima aku jadi cowok kamu?”

Aku tersipu malu. Pipiku terasa panas. Pasti terlihat merah. Aku tersenyum dan akhirnya mengangguk. Dia terlihat bahagia sekali. Hari ini membuatku sangat bahagia. Sangat bahagia. Aku ingin berteriak pada semua orang. Aku ingin semua orang tahu. Aku sangat bahagia.


Kebahagiaan itu membuatku terlena. Aku terus bernyanyi dan tertawa. Aku membuat banyak puisi dan cerpen. Dan semua tentang percintaanku dengan Steven. Hari ini aku juga sedang mencurahkan isi hatiku.

Lilin-lilin kecil menyala dalam hatiku
Peri-peri kecil menari-nari
Mengiringi alunan derai jiwa
Menerangi hatiku yang kian lama terkubur dalam kepedihan
Meramaikan sunyiku yang telah lama terselimuti
Ego, marah, dan ambisi
Dan hari ini, aku ingin jadi milikku seorang
Bukan milik dunia yang penuh dengan ambisi.

Oh... Tuhan. Mimpi apa aku semalam? Aku sangat bahagia. Makin hari cintaku dan cinta Steven makin menjadi. Hingga aku membiarkan Steven ke rumah dan melamarku. Semula aku yakin kalau Ayah akan menyetujui hubungan kami. Tapi dugaanku meleset jauh.

“punya apa kamu nak? Berani melamar anakku?”

“saya punya cinta Om...”

“cinta? Apa itu? Kamu bisa menjamin, jika anakku nikah dengan kamu dia akan selamat? Kamu bawa diri saja tidak sanggup mau melamar anakku.”

Baru kali ini aku melihat Ayah marah besar. Dan yang lebih membuatku kaget, Ayah yang ku kenal begitu halus, berubah beringas. Aku kecewa. Aku tidak bisa membiarkan Steven menghadapi Ayah sendiri. Aku harus membelanya. Akhirnya aku keluar dan membela Steven. Mata Ayah nampak menyala-nyala.

“Ayah.... hentikan!”

“Stevie... masuk”

“gak! aku cinta sama Steven Ayah, jangan pisahkan kami. “

“kamu mau meninggalkan Ayah ,sayang?”

“Ayah, aku sudah besar, sudah waktunya aku menikah. Biarkan aku bebas Ayah. Aku bukan boneka Ayah.”

“sayang, kamu pengen melihat Ayah gila......”

“Ayah akan benar-benar gila jika melarangku menikah. Sudah berapa banyak lelaki yang ayah tolak?”

“ayah kecewa sama kamu, sayang. Sekarang terpaksa Ayah harus memperketat penjagaanmu.”

Ayah menangkapku dan memasukkanku ke kamar. Sedangkan Steven berusaha mencegah Ayah. Tapi tidak bisa.

“Stevie.... aku akan dateng lagi. Aku akan bawa kamu pergi....”

“Steven.......”

Aku benar-benar tersayat. Ayah sangat kejam terhadapku. Hatiku terasa sangat sakit. Aku ingin aku cepat mati saja jika begini jadinya. Ayah, tak ku sangka. Cintamu telah merubahmu menjadi seperti ini. Cintamu telah membunuh cintaku padamu.

Berhari-hari Ayah menyekapku didalam kamar. Aku hanya bisa menangis dan memohon pada Ayah agar dibiarkan pergi. Tapi sama sekali tak didengar. Aku sama sekali tidak mengetahui dunia luar. Hp, TV, Laptop, semuanya disita. Aku sangat mengkhawatirkan Steven. Dia sangat lemah. Dia butuh perlindungan. Tiap aku mengingat dia, rasanya aku ingin berlari. Kini aku hanya bisa menunggunya. Menunggu kereta kudanya untuk menjemputku. Menunggu janjinya tuk menjemputku dan membawa aku lari.

Siangpun bagai malam
Cerahpun jadi resah
Dan...
Bahagia laksana petaka

Aku duduk termangu...
Menunggu kereta kudamu tuk menjemputku
Lama-lama aku terbaring lesu
Bosan menunggu uluran tanganmu

Dan akhirnya...
Aku benar-benar tergeletak
Tanpa ada suara dan resah.


Sebulan sudah aku di kurung oleh Ayah. Sesekali Ayah datang dan membujukku. Tapi aku hanya diam. Aku hanya bisu. Sampai hari ini, ayah memberiku Hp untuk menghubungi Steven. Cepat-cepat aku meraihnya dan menghubungi Steven.

“hallo”

“iya....”

Suara wanita tua. Lirih lagi. Ada apa dengan Steven?

“Steven ada?”

“Steven, dia kan sudah meninggal sebulan yang lalu?”

“apa? Pasti anda bohong....”

“buat apa saya bohong. Kebohongan akan keadaan anak saya hanya membuat saya lebih pedih.”

Tidak! Ini semua tidak boleh terjadi. Spontan aku terjatuh. Ayah memapahku. Tapi secepat kilat aku menepisnya. Ada rasa sakit yang mendalam ketika tangan Ayah menyentuhku. Tangan lembut itu seakan menjadi tangan besi yang mencekik leherku perlahan. Aku memandang Ayah yang nampak bersalah. Tapi aku tak peduli. Hatiku cukup terluka........

“Stevie... maafkan Ayah...”

“Ayah jahat....”

Aku segera ke kamar dan mengurung diri. Betapa sakit dan sedih hatiku. Ternyata penyakit ganas itu melahap Steven. Dan aku gagal mengubah 2%nya menjadi 20%. Tuhan.... bunuh saja aku. Aku merintih, meringkuk dan merana di atas kasur. Sungguh. Steven... aku sangat mencintaimu. Aku akan menyusulmu.

Malam ini mungkin malam terakhir. Aku sudah bertekad akan bunuh diri. Aku ingin menyusul Steven seperti yang aku janjikan padanya. Malam ini kubuka kedelapan jendela kamarku. Angin masuk ke paru-paruku. Sebelum aku mati, ku ambil kertas dan menulis surat untuk Ayah.

Dear Ayah tercintaku....

Seiring duka yang sangat besar dan kekecewaan yang menderaku. Aku ingin layangkan puisi untuk Ayah. Tentang semua keluh kesah dan keinginanku selama ini. Akan sikap Ayah yang over protection.
Bebas
Angin berhembus
Seolah mengerti kata hatiku
Aku ingin berlari.....
Berlari sejauh mungkin....
Melepas kelelahan ini
Meski sejenak saja.........
Aku ingin terbang
Seperti burung-burung di pematang sawah
Seolah semua hilang
Tak terkecuali wabah resah

Angin berhembus
Menerpa aku tatkala bermimpi
Mengantarku pergi ke angkasa
Meraih bintang dan bulan
Yang selama ini ku damba....

Aku ingin lepas.....
Dari rantai-rantai budaya
Yang membelenggu diriku
Aku ingin menyanyi lepas..
Laksana burung parkit ditaman bunga
Aku ingin bebas.......

Ayah, inilah isi hatiku selama ini. Sebenarnya, aku tahu dan aku mengerti. Ayah sangat mencintai aku. Namun karena cinta itulah. Kini Ayah membunuhku. Ayah, aku pergi dulu. Biarkan aku menerima kebebasan di dunia lain. Aku cinta padamu. Maafkan aku


Putrimu
Stevie alexandra


Seusai aku tulis surat itu, napasku tersendat-sendat. Aku melihat banyak orang mengerubungiku. Ibu, Nenek,dan kakek. Mereka menarikku dan mengajakku pergi. Setelah agak jauh.... kurasa tubuhku melayang. Dan ku toleh kebelakang. Aku melihat jasadku tergeletak dan Ayah menangis disampingku. Ada kesedihan yang menjadi. Tapi kini keadaan berkata lain. Lalu ku tinggalkan Ayah, nampak jauh disana. Steven mengungguku. Steven memelukku dan Steven menciumku. Dan Ayah......... aku akan mengunjungimu meski engkau tak tahu. Ayah, karena cintamu, semua begini. Maafkan aku.............




















Love is...
© membuka dunia! - Template by Blogger Sablonlari - Font by Fontspace