Mengenai Saya

Foto saya
saya adalah saya, bukan anda atau dia.

Selasa, 24 Agustus 2010

1%

1% masih ingatkah kamu?

1% perhatianmu pernah ada dalam hatiku di saat aku sedang membutuhkan belas kasihan

1% kepedulianmu pernah membuatku tertawa di saat aku memikirkan untuk mengakhiri semuanya.

1% pikiranmu pernah memikirkanku kala aku benar-benar mencoba untuk bunuh diri.

Dan 1% dari semua itu pernah membuatku jatuh hati kepadamu.

Tapi 99% kecuekanmu padaku senantiasa menyadarkanku dari kelalaian untuk mencintai Sesuatu yang lebih pantas kucintai.


Aku senang bisa mencintai seseorang. Dan aku sedih bila harus mendengar pernyataan bahwa aku tidak bisa memilikinya. Tapi itu dulu. Kini hidupku beralih prinsip tentang cinta. Mencintai adalah hak siapa saja. asal jangan memaksakan kehendak, itu sudah cukup. Aku juga merasakan manis dan pahitnya cinta akhir-akhir ini. tapi aku bisa menanggulangi semuanya dalam sekejap. Inilah ceritaku. Cerita yang mengisahkan betapa aku mencintai seseorang tanpa harus memilikinya namun aku tetap bisa menikmati kebahagiaan setiap hari dan setiap saat.

Awalnya ketika aku mengenal dia…….

Tidak ada yang special ketika aku mengenal dia. Bahkan aku bingung antara dia dan temannya. Karena nama mereka sangat mirip dan sama-sama aneh. Aku mengenalnya secara resmi di sebuah kepanitiaan baksos di sekolah. Aku katakan perkenalan secara resmi karena baru saat itulah aku faham mana yang dirinya. Karena sebelumnya aku hanya sering mendengar ceritanya saja dari temanku.

Aku menjabat menjadi sekretaris disitu. Dan dia menjadi coordinator perlengkapan. Semula aku tak peduli dan tak pernah berinteraksi dengannya. Dia juga jarang masuk jika ada rapat. Hadirpun pasti telat dan berada di belakang. Dan selama dia tak ada, temanku Randy yang menggantikannya menjadi coordinator. Jadi, aku benar-benar tidak pernah berinteraksi dengannya.

Suatu hari, aku dan pengurus inti lainnya merencanakan untuk mengadakan rapat besar. Dan itu terlaksana dengan baik. Tapi lagi-lagi dia telat bahkan nyaris tak datang. Aku yang berwatak tegas dan galak hanya diam sambil terus melihatnya dengan sorot mata kesal. Rupanya dia merasa jika aku marah padanya. Dia pun segera memberi laporan dan program kerja yang baru saja dia buat.

Sejak itulah dia jadi rajin masuk rapat. Semula aku masih biasa saja. masih belum ingin berinteraksi dengan orang itu. karena memang tidak ada yang bisa di bicarakan. Hingga suatu hari, aku dan beberapa coordinator harus survey tempat. Kebetulan coordinator perlengkapan juga harus ikut untuk menyiapkan barang apa yang dibutuhkan kelak.

Seperti biasa, aku tidak kebanyakan mulut untuk membicarakan ini itu. aku diam saja sampai tempat tujuan. Tapi pulangnya aku terpaksa menyahuti pembicaraannya dengan teman-teman karena aku rasa aku tertarik dengan topik itu.

“kalo dulu sih, sholat taraweh di tempatku tuh lama banget. nggak kuat deh kamu……”

Katanya dengan nada bicara yang ceplas-ceplos.

“emang dimana itu???”

“di ponpesku…… pokoknya lama banget. bayangin ya, jam 19:00 WIB sampai jam 24:00 WIB. Kalo nggak biasa bisa tekor tuh..”

Aku teringat akan temanku Randy dan Yusna. Mereka dulu satu SMP dengan dia. Tapi tak pernah bercerita tentang cerita itu. padahal biasanya mereka berdua akan menceritakan apapun untuk memperenggang suasana.

“kamu sesekolahan sama Randy sama Yusna ya??”

Dia menoleh kepadaku lalu memalingkan muka lagi.

“iya..kalo sama Randy sih masih nyambung. Tapi kalo sama Yusna, jauh banget.”

Aku mengernyitkan kening.

“jauh? Jauh dalam artian apa???”

Kali ini dia menatapku. Sepertinya sedang menyelidik dengan serius.

“jauh Hobby-nya. Jauh pemikirannya, jauh tindakannya. Semua deh…..”

Aku mengangguk-angguk. Lalu tidak melanjutkan pembicaraan lagi. Aku takut menguak lebih dalam tentang pertemanan dia dan Yusna yang terbilang “jauh” itu.

Bahkan tidak hanya waktu itu saja aku dan dia berbincang-bincang. Pernah dia menghampiriku saat aku menulis novel di sekolah.

“ngapain Ndut???”

Dan kali ini dia membuat sebutan yang jarang sekali di ucapkan orang padaku.

“nggak ngapa-ngapain.”

“nulis novel ya???”

“iya…..”

“oh… gimana masalah baksosnya?? Kok nggak kelar-kelar kayaknya??”

Aku menoleh ke arahnya. Kepanitiaan baksos memang agak amburadul tahun ini. masalahnya, yang menjadi panitia bukan anak kelas tiga. Tapi anak kelas dua. Termasuk aku.

“iya….. aku juga nggak tahu. Ya udah deh……. Di jalani aja…..”

Sampai disitulah percakapan pertama kami. Waktu itu aku sama sekali tidak mengira kalau jadinya akan seperti sekarang.

Mulai akrab…..

Ternyata di baksos terjadi banyak masalah. Salah satunya masalah antara baksos dengan aku. Waktu itu, aku mendapat banyak masalah. Bahkan hampir aku tak kuat menanggungnya sendiri. Tapi aku harus menanggungnya tanpa di bantu orang lain. Ibarat mengangkat batu yang sangat besar hingga terseok-seok dan selalu jatuh dalam kurung waktu lima menit.

Sebelum aku menetapkan untuk keluar dari organisasi itu, terlebih aku di bantai oleh senior. Banyak diantara mereka yang mencibirku dan bahkan mereka sangat menyinggung perasaanku sampai aku memutuskan untuk keluar.

“semua orang itu punya masalah…… jangan kamu kira Cuma kamu yang punya masalah yang besar. Saya punya masalah, Mbak Elis punya masalah, Mas Rosyid juga. Jangan anggap diri kamu aja yang punya masalah. Dan jangan masukkan masalah kamu itu ke dalam masalah organisasi. Kalau aku jadi kamu ya……… aku bakal keluar dari baksos malam ini juga.”

Sebenarnya aku mulai tak tahan dengan omongan Mas Fahmi itu. terlalu menohok untuk aku cerna dengan otak terlebih hatiku. Aku berusaha untuk tidak berdiri dan keluar dengan air mata.

“Anisa….. seharusnya kamu jadikan organisasi ini sebagai hiburan. Dimana kamu nggak perlu memikirkan masalah kamu itu.”

Aku menghela napas. Air mata sudah berada di ujung. Tinggal menunggu detik saja untuk jatuh ke bawah.

“melupakan??? Kalian nggak tahu kan, apa yang sedang menimpa saya??? Dan apa yang ingin saya lakukan tiap kali saya mengingat semua itu?? kalau memang saya hanya menjadi beban di organisasi ini, saya menyatakan keluar mulai malam ini. dan jabatan saya bisa di gantikan malam ini juga.”

Aku berdiri dan meninggalkan semua peralatan rapatku disitu. Aku sudah tak peduli, hatiku terlanjur teriris sebilah pisau. Dan aku tak mau jika hatiku menjadi lebih hancur karena terlalu lama di tempat itu. aku pun berlari, makin cepat, makin cepat dan sampailah aku di kelas. Ku tangisi nasib yang begitu buruk ini. baksos adalah organisasi impian yang aku dambakan sejak kelas satu. Tapi mengapa begitu aku menggenggamnya, aku terpaksa melepasnya dengan alasan sepele?

Malam itu, aku ambruk. Aku menangis semalaman. Aku tak bisa merelakan perjuanganku yang begitu besar untuk mendapatkan jabatan tersebut. Yang terpaksa harus ku lepas karena factor X.

Keesokan harinya, aku masih saja sedih. Air mata ini seolah belum kering. Aku pun berangkat sekolah dengan mata yang sayu.

Pulangnya, aku duduk di taman dengan membawa laptop. Daripada sedih terus, lebih baik aku melanjutkan aktivitasku untuk menulis novel. Hanya ada satu kegiatan yang bisa menenggelamkanku dari semua masalah di dunia ini. yaitu berimajinasi dalam tulis-menulis.

“nulis novel lagi Ndut???”

Aku terhenyak dan spontan menutup laptopku. Ku tatap matanya yang melihatku.

“kemarin malam katanya ada shering. Apa isinya???”

“pembantaian…”

“siapa yang di bantai dan siapa yang bantai? Aun ya?? atau anak kelas tiga yang di bantai???”

“aku…”

“ha??? Kok bisa?? Kan kamu kerjanya lumayan bagus? Nggak ada masalah setahuku. Kok bisa kamu yang di bantai????”

“ah.. shit!! Udah deh nggak usah ngomongin baksos lagi. Ideku ilang semua nih….”

Begitu aku meluncurkan kata-kata umpatan, dia langsung kaget dan mengatupkan bibirnya. Aku yang emosi sama sekali tidak menghiraukan keadaan. Aku terus meluapkan emosiku padanya. Dan dia pun duduk di sebelahku.

“nyebelin banget. masa, aku di bantai hampir semua anak kelas tiga yang hadir karena aku telat fotocopy. Terus kalo Aun? Kalo dia berusaha ngembat jobku? Aku harus diam aja dan dia nggak di apa-apain??? Terus mereka pikir aku tuh apa???”

“sabar… sabar…. Terus kamu sekarang sama mereka gimana?”

“makan tuh baksos. Aku keluar dari tadi malem. Aku tersinggung banget sama omongannya mas Fahmi. Emang sih semua orang punya masalah. Tapi aku yakin, mereka nggak akan pernah kuat kalo mereka punya masalah kayak aku…”

Kali ini dia diam. Tapi aku juga tidak berharap dia memiliki sanggahan. Memang lebih pantas dia diam dan tak menghirukan emosiku ini daripada dia menjadi korban.

“ya udah….. aku pusing…. Aku mau balik”

“ya.. hati-hati ya??”

Aku melaju tanpa menghiraukan ocehannya lagi.

Entah berapa lama aku tidak berkomunikasi dengannya karena dia masih sibuk dengan masalah baksos dan aku benci itu. selama ini aku hanya memperbaiki nilai akademikku saja. memang benar, aku jadi juara kelas di semester satu. Tapi di sisi lain, banyak masalah yang semakin menjadi besar ketika aku hanya mendiamkannya saja.

Hingga suatu hari saat liburan semester satu. Aku mendapatkan nomor hpnya dari salah seorang temanku. Sebenarnya aksiku untuk menghubungi dia ini tak lain menjadi mak comblang antara dia dan temanku. Tak perlu ku sebut siapa temanku itu. aku memulai sms dia dengan topik mengenai temanku tadi. Mulanya aku biasa saja. dan tetap mengingat misiku untuk mencomblangi mereka berdua.

Tapi lama-lama, perbincangan kami merambat ke masalah pribadi. Dia mulai membuka rahasianya. Dan aku juga mulai berani curhat tentang masalahku yang tak pernah usai itu. semula semua berjalan tanpa kendala. Kami hanya saling curhat.

Namun sesuatu yang lebih terjadi padaku. Entah mengapa ada perasaan sakit ketika dia mulai mengatakan kalau dia pernah mencintai salah seorang temanku di awal tahun pelajaran kelas dua. Tapi aku masih diam dan tak ingin memperdalam perasaan. Mungkin ini hanya perasaan sesaat yang sebentar lagi akan hilang di terpa angin.

Cemburu……

Tiap hari aku selalu menyempatkan diri untuk meng-sms dirinya. Dia juga membalas sms itu tiap kali aku sms. Bahkan, kadang dia yang memulai sms kala aku masih ada kegiatan. Karena sms itulah, kami banyak cerita dan curhat. Hingga suatu hari…..

Dia mengatakan kalau dia pernah mencintai salah seorang teman sekamarku. Sebenarnya aku tidak begitu peduli dengan perkataannya. Tapi, entah mengapa aku merasa tidak rela jika dia harus bersanding dengan gadis itu. semula alasanku merasa demikian karena aku memang tidak menyukai temanku itu dari kelas satu. Tapi lama-lama alasan itu di perkuat dengan rasa cemburuku yang membludak.

Tapi waktu itu pertemanan kami masih berlanjut. Dan dia masih rajin menanyakan keadaan temanku itu. mulanya aku masih kuat untuk menahan rasa cemburu yang makin hari makin besar ini. namun, suatu hari, setelah aku mengerjakan nsoal matematika yang susah.

“keadaan Umi gimana??”

Perlu di catat, dia dan temanku itu sudah membuat panggilan. Dia di panggil Abi dan temanku di panggil Ummi. Dan aku di panggil nenek. Sebenarnya panggilan nenek itu tak berhubungan dengan silsilah keluarga mereka. Mereka hanya ikut-ikutan memanggilku begitu.

“baik.”

Andai kata ini bukan sms, aku akan menyahuti pertanyaannya dengan nada yang paling sinis.

“kalau anakku???”

Yang di maksud anaknya disini adalah anak kelas satu bernama Ila. Mereka sepakat menjadi keluarga sejak Ila menetapkan siapa Bapak dan Ibunya jauh sebelum ini. aku kembali menghela napas. Ingin rasanya aku berteriak di tempat itu juga.

“baik juga…”

“oh… ya udah bilangin jangan tidur malem-malem. Jangan telat makan.”

Duh… perhatian sekali sih dia pada dua orang itu? lalu kalau aku sakit, dia hanya akan membulatkan bibirnya dan meneriakkan satu huruf, “o”.

“y”

Aku pun mulai menyingkat smsku, pertanda aku mulai tek suka dengan perbincangan ini.

“kenapa sih Ndut?? Kok sms kamu aneh gitu??”

“gpp.”

Sms kali ini berhenti sampai disitu. Aku sama sekali tidak mood melanjutkannya. Aku pun langsung mematikan hp dan tidak menghiraukan apa yang akan dia katakan. Tuhan, mengapa aku harus mencintai orang yang sudah mencintai orang lain?

Keesokan harinya, aku kembali sms dia. Dan aku heran, mengapa harus aku yang sms dulu? Tapi aku tak peduli, yang penting aku bisa menanggulangi perasaan galau ini.

“eh….. ngapain kamu???”

“nggak ngapa-ngapain. Bengong aja…”

“oh.. kirain nyikat WC…”

“ngawur! Ya nggaklah….”

“kan Cuma perkiraan?? Apa salahnya???”

“salah dong………”

“kok bisa???”

“perkiraan itu yang bagus-bagus. Bukan yang jelek-jelek. Masak cakep kayak gini di bilang nyikat WC????”

“bisa jadi kan?? Cakep?? Iya saking cakepnya sampek nggak bisa di lihat. Hehehe.”

Aku tertawa. Dia memang orang humoris. Sebelum aku dekat dengan dia, aku pernah mendengar cerita humor yang dia buat saat kelas satu dulu. Dan sekarang aku bisa mendengar humor itu langsung darinya.

“udah di salamin belum ke anak ma istriku???”

“udh.”

Sejenak aku terdiam. Sebenarnya aku mulai sakit hati. Tapi aku membiarkan dia mengoceh tentang anak istrinya terlebih dulu.

“makasih ya…. keadaannya sekarang gimana??”

“gimana kalo kamu tanya sendiri ke dia??”

Aku pun mulai naik pitam.

“kan Cuma tanya gitu aja, masak aku harus kesana?”

Kali ini aku ingin mengumpat padanya, sungguh.

“salah nggak sih kalo aku nggak suka ma seseorang???”

Aku berharap dia mengerti apa yang terkandung dlaam sms itu.

“emang kamu nggak suka sama siapa???”

Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Bahkan kalau bisa, aku akan berteriak tepat di kedua telinganya sekarang. Aku yang mulai tidak mood membalas smsnya tadi dengan sms kosong.

“kok kosong???”

“kamu tuh bego’ apa pura-pura bego’ sih??”

“maksud kamu?”

“pikir aja sendiri.”

“kok kamu jadi gini sih Ndut? Aku kan nanyak baik-baik, gimana kabarnya anak ma Istriku???”

“nggak ada pertanyaan lain ya…???”

Mungkin ada lima menitan kami terdiam. Dia juga tidak membalas smsku. Aku pikir dia sudah tahu kalau aku cemburu dan dia kaget mengetahui pernyataan itu. tapi dugaanku meleset dan terlalu tinggi untuk seorang”dia”.

“oh….. Ya Tuhan, jadi kamu nggak suka kalau aku nanyak-nanyak soal Istri ma anakku, Ndut????”

Glekk! Serasa dunia berputar, tapi aku tidak merasakan perputaran singkat itu.

“iya….”

“kalo boleh tahu, kenapa kamu nggak suka ma dia??”

Ya cemburu sama kamu lah. Andai aku bisa menuliskan keluh kesahku itu di layar hp. Tapi aku rasa tidak mungkin. Pasti dia akan menjauhi diriku dan tidak ingin berteman denganku lagi. Saat itu dunia akan terasa hampa dan menyakitkan.

“aku nggak mau semua yang aku omongkan jadi fitnah…”

“aku bisa jaga rahasia kok. J

“tapi sayangnya aku nggak bisa naruh kepercayaan itu ke kamu.”

“oh… ya udah..”

Sejak saat itulah aku aku tak pernah lagi sms dia. Sebenarnya aku tak kuat, aku ingin selalu sms dia dan ingin tahu semua yang dia lakukan. Tapi selama dia masih menanyakan keadaan temanku itu ke aku, aku tidak akan menganggapnya ada.

Seminggu setelah itu, saat les di sebuah bimbingan belajar. Dia mengirimiku sms kosong. Sebenarnya aku tahu itu nomornya. Tapi aku membalasnya seolah-olah aku tak pernah berhubungan dengan dia.

“siapa nih???”

Aku sudah mengira kalau dia tidak akan membalas sms itu. dan aku juga tidak ingin mendapat sms dari dia. Dan sama sekali tidak ingin bertemu dengan dia. Pendek kata, aku marah padanya.

Minta maaf…….

Waktu merambat dengan cepat. Sangat cepat mungkin. Tiba-tiba aku sudah berada di sebuah ruangan bernomor 16 dengan kesunyian dan hawa-hawa ujian. Ujian jam pertama kali ini B. Indonesia. Pelajaran yang paling aku sukai di antara banyak bahasa di sekolahku. Bukan karena aku bodoh di bahasa lain, di bahasa indinesia aku bisa membuat puisi dan karya sastra yang lain dengan sempurna.

Waktu masih menunjukkan pukul Sembilan. Tapi aku sudah merampungkan lima puluh soal bahasa Indonesia. Tidak semua ku bisa, tapi jika di hitung menurut naluri dan pengetahuanku, nilai itu tidak kurang dari Sembilan puluh. Tiba-tiba tanganku usil untuk mencorat-coret dibalik soal bahasa Indonesia itu. ku tulis puisi pendek tentang perasaan cemburuku pada “dia”.

Rinduku terenggut

Oleh ego….

Cintaku terpasung

Di lumat habis oleh amarah…

Sayangku terlepanting

Membentur dinding ……

Tak cukupkah kau mengerti keadaan ini?

Walau hatimu bertanya mengapa diriku?

Aku hanya akan berikan jawaban dalam diam

Meski bibirmu berteriak memanggilku tuk minta penjelasan

Suaraku cukup terpekik dan tersendat

Tak sepatah pun yang ingin ku ucap

Sebelum kau lari dan menghiraukan betapa sakitnya hatiku

Aku tak peduli siapa yang akan membacanya. Yang penting aku sudah menuliskan perasaanku yang begitu menginginkan kehadiran dia untuk meminta maaf padaku. Tapi sepertinya mustahil. Karena dia hanya akan diam. Bahkan saat kita masih sering sms-an dan bertegur sapa. Selalu saja aku yang mengawalinya. Tersenyum saat berpapasan saja enggan. Apalagi ada masalah seperti ini? dia memang lelaki secara fisikly, tapi dalamnya perempuan sejati. Huh!!

Mataharipun meninggalkan awan temaram. Sedu sedan di sore hari mulai terasa saat pintu-pintu rumah itu tertutup. Dengan usilnya bunyi-bunyian alam mengganggu para petani yang kian terpekur menekuni perjalanan pulangnya.

Aku masih berdiri menatap almari setelah sholat maghrib. Ku lihat wajahku yang masih menyisakan amarah karena jengkel dengan “dia” dua minggu yang lalu. Dalam benakku ada dua pertanyaan. Pertama, mengapa dia mengirim sms kosong padaku beberapa hari yang lalu? Yang kedua, mengapa dia tidak membalas sms balasanku?

Tiba-tiba pikiran buruk merasuki pikiranku dengan liar. Jangan-jangan dia sakit? dan tak bisa mergerak sedikitpun. Karena akhir-akhir ini aku juga tak pernah melihatnya sibuk keluar masuk di sebuah ruang kecil di sudut sekolah yang biasa di sebut sanggar pramuka. Jika dia sakit, seharusnya aku senang. Hitung-hitung untuk ganti rugi rasa sakit ini.

Tapi orang mencintai itu tidak realis. Tetap saja dadaku terasa terhimpit dan ingin melihatnya dan memastikan dia baik-baik saja.

Blab… blab….

“Mama…………………….”

Suaraku melengking sekencang-kencangnya saat lampu tiba-tiba mati. Menggunakan lampu HP, aku berjalan sedikit demi sediki mencari Mama dan Papa.

“Ma………….”

“apa sih? ini Mama disini…”

Sahut Mama tepat di telinga kananku. Tentu saja aku mengaduh pelan.

“aduh.. iya Mama. Kan aku takut galap-gelapan kayak gini. Papa mana??”

“tuh.. ada di luar…… udah disini aja. Eh… bilang ke temen-temen kamu dong, rumah mereka mati lampu nggak??”

“sip…”

Aku bergegas mengetik di layar HPku.

“guys, rumah kalian padam nggak lampunya??”

Ku kirimkan pesan itu ke berbagai teman. Tak peduli yang ada di kota maupun luar kota. Bahkan ada yang luar jawa juga. Tujuannya biar akurat. Siapa tahu ini mati lampu nasional? Satu persatu berita pun mulai berhamburan ke HPku.

“mati, nis. Rumah kamu???”

“mati gals……… kenapa??”

“nggak tuh…. Kenapa? Rumah kamu mati lampu ya???”

Aku kaget. Itu kan daerah rumah “dia” yang tidak begitu jauh dari rumahku. Paling hanya terpaut satu atau dua desa saja. semestinya daerahnya mati juga. Diam-diam jari jemariku mengetikkan satu nomor yang ku hafal di luar kepala. Siapa lagi kalau bukan nomor “dia”?

“Cuma mau ngecek, rumah kamu mati lampu nggak???”

“nggak. Kenapa?? Rumah kamu mati lampu ya??? disini terang benderang tuh, nggak ada apa-apa. dasar!! Mungkin kamu belum bayar listrik kali. Cepet di bayar…..”

Belum selesai dadaku berdegup karena takut tidak dibalas, tiba-tiba sebuah sms panjang masuk dan langsung mengajakku terhanyut oleh guyonannya.

“oh… ya udah.”

“ya udah kalo gitu nggak usah ngapa-ngapain. Nggak kelihatan apa-apa kan????”

Tiba-tiba aku merasa bersalah telah mendiamkannya selama beberapa minggu. Seharusnya saat dia mengirimiku sms kosong, aku membalasnya dengan perkataan yang lebih halus. Menanyakan kabar mungkin, atau bisa juga meminta maaf. Kalau ingin lebih jahat, aku bisa memarahinya habis-habisan.

Tapi semua sudah terlanjur. Semua sudah selesai hingga malam ini. berarti aku harus meminta maaf padanya sekarang.

“ya. aku minta maaf ya??? besok aja deh di bahasnya. Aku mau tidur aja…..”

Tanpa menghiraukan balasannya selanjutnya, aku langsung mematikan hp dan menginformasikan pada Mama kalau jarak radius lima kilo meter lampu sudah menyala seperti biasa.

Keesokan harinya di bimbingan belajar. Hari ini materinya adalah ekonomi. Salah satu pelajaran yang kusukai di bidang ilmu social. Dan aku sudah hafal dengan apa yang akan di berikan oleh sang pemateri. Jadi, aku hanya sesekali membuka buku dan mereview saja tanpa keseriusan yang khusus.

“Ndut????’

Untuk pertama kalinya aku tergaket-kaget karena menerima sms dari dia.

“apa…..???”

“kamu lagi dimana??”

“lagi di bimbel. Kau??”

“di bimbel juga.”

“terus ngapain kamu smsan? Ntar nggak bisa lagi gimana???”

“biarin. Orang Cuma fisika….”

“alah… ntar kalo ulangan nangis darah baru tahu rasa kamu.”

“ya jangan di doain gitu dong Ndut…….”

“hahaha…. Kamu sih”

Akhirnya aku masih bisa tertawa karena humornya. Ku kira setelah dua minggu bertengkar, di akan menjauh dan tidak mau berteman denganku. Ternyata dia memang tidak sepeka yang ku bayangkan.

“oh ya. maaf ya…”

Balasku lagi.

“buat apa????”

“buat yang kemaren”

“aku juga ya? aku takut kamu marah ke aku.”

Biasanya aku yang akan mengatakan demikian. Lalu mengapa sekarang malah berbanding terbalik?

“aku juga takut kamu marah ke aku….. makanya aku nggak berani sms kamu.”

Aku pun mulai manja dan merengek padanya.

“oh gitu alasannya..”

“oh ya, aku mau tanya”

“apa???”

“kamu yang ngirim sms kosong itu ke aku ya??”

“kamu hapus nomorku ya???”

Duh.. kasihan sekali dirinya? Seharusnya aku tidak membalas sms kosong itu dengan kalimat yang sok tak kenal.

“maaf ya…”

“ah.. udah biasa kok aku di gitukan orang”

“maaf ya sekali lagi. Aku bener-bener nggak mau marah.”

“aku juga takut kamu marah ke aku. Makanya aku ngecek kamu dengan ngirim sms kosong itu. ternyata kamu hapus nomor aku..”

“nggak tak ulangi lagi deh. Maaf ya???”

“aduh biasa aja kali Ndut…”

Barulah kerukunan ini kami bangun berdua. Dan aku janji tidak akan menunjukkan perasaanku yang sesungguhnya padanya.

One percent

Sebenarnya tujuanku berteman dengan Dia tak lain untuk mengalihkan semua masalahku yang sangat berat. Tapi disini aku tak bisa menceritakannya. Karena ini merupakan privacy dan hanya dia dan aku yang tahu. Meskipun aku mengerti, dia tidak begitu faham tentang masalah yang kumiliki ini.

Sebenarnya kelas dua ini aku mendapat banyak masalah. Masalah utama adalah masalah besar yang tadi ku sebutkan. Yang kedua adalah masalahku dengan seseorang yang dulu pernah ku cintai. Namanya Alil. Aku tahu, Alil juga ada rasa terhadapku dan kami bertengkar karena kesibukan kami. Aku pun menangis saat pertengkaran itu. karena terlalu lelah menghadapi semuanya sendirian, aku pun bercerita pada “dia”.

“kamu pernah jatuh cinta kan??”

“ya pastilah Ndut… kenapa?? Kamu lagi falling in love ya???”

“aku lagi tengkar ma Alil.”

“siapa Alil? Pacar kamu???”

“bukan…… tapi HTSku.”

“kenapa emang???”

“dia selalu nggak ada waktu buat aku. Padahal dia yang ngajak HTS-san.”

“kok gitu sih????”

“aku juga nggak tahu. Makanya aku habis marah-marah sama dia.”

“terus dia gimana????”

Aku menghela napas.

“aku tuh pusing ya sama makhluk yang bernama cowok. Kenapa sih mereka selalu nuntut yang macem-macem ke cewek, padahal kalo mereka di tuntut, mereka bakal marah. Sebel.”

“sabar ya..???? nggak semua cowok kayak gitu kok……”

Terbersit sedikit rasa kecewa dalam hatiku. Mengapa dia hanya berkata demikian? Sms berakhir sampai kalimat itu. dan aku tidak berniat untuk membalasnya lagi. Dan dia?? Apakah pernah dia mengurusi sedikit perasaanku?

Keesokan harinya, dia meng-smsku lagi.

“sorry ya Ndut, aku kemaren ketiduran. Eh aku mau tanya….”

“apa??”

“tadi malem kamu nangis nggak???”

Ada dua pertanyaan di otakku saat dia mulai bertanya seperti itu.

“kalo iya kenapa? Kalo nggak kenapa???”

“nggak pa-pa. Cuma pengen tahu aja…..”

“oh….. sorry ya kemaren bikin kamu mikir.”

“nggak pa-pa kok. Aku nggak lagi mikirin apa-apa soalnya. Malah, satu persenku untuk kamu.”

Semula aku senang mendengarnya memberiku satu persen pikirannya untukku. Tapi lama-lama aku berpikir, di dunia ini ada seratus persen, mengapa aku hanya di beri satu persen????

Awalnya pertanyaan itu menjadi tidak penting. Mungkin itu sudah menjadi gaya bicaranya sehari-hari. Dan aku tidak mau peduli. Tapi entah suatu saat jika aku memikirkan masalah satu percent itu kembali.

Rapuh dan kecewa……

Waktu berjalan dengan sangat cepat. Ternyata ujian sekolah telah berakhir. Semua sudah selesai dan sesuai rencana. Saat anak-anak sibuk remedial, aku enak-enakan di rumah karena nilaiku lebih dari perkiraan. Tapi aku di landa masalah yang cukup besar. Sebenarnya masalah ini suda cukup menyita waktu. Aku menyimpan masalah itu kurang lebih selama Sembilan tahun. Dan tahun ini adalah puncak dari segala penderitaan yang tak pernah kurasa sebelumnya. Masalah ini juga pernah ku bicarakan dengan dia. Tapi tanggapannya tidak lebih dari tanggapan sederhana yang mengecewakan.

Tapi kalau bukan padanya, harus pada siapa aku memberitahukan semua masalah ini. harus kemana aku berlabuh dari kepenatan dunia? Aku pun kembali memilih dia sebagai sandaran hatiku. Meski aku tahu, dia tidak akan banyak membantu.

Waktu itu, aku merasa menjadi manusia yang serba salah. Sedangkan waktuku tidaklah banyak untuk menyelesaikan ini. aku pun berniat untuk mengakhiri hidip. Sungguh. Aku tidak berbohong saat ini. aku benar-benar mengambil semua pil yang ada di kotak obat dan memaksa mulutku untuk menelannya.

Setelah itu merasa sangat pusing dan tak berapa lama aku langsung ambruk. Dan aku tidak ingat apa-apa setelahnya.

Keesokan harinya, aku langsung pergi ke sekolah. Aku meng-sms dia untuk memberitahukan kalau aku hampir mati.

“aku udah mencoba mengakhiri semuanya….”

“kalo kamu pengen mati, kamu harus ijin dulu sama orang tua kamu.”

“aku benci sama orang tuaku…..”

Karena masalahku ini memang ada hubungannya dengan orang tuaku. Dan saat itu, aku sama sekali tidak suka mendengar dia meneriakkan nasehat yang langsung menusuk ke akarnya.

“kalo mereka nggak peduli ma kamu, mungkin kamu udah lama di bunuh sama mereka.”

“ya, sama aja kan, mati sekarang atau besok? Toh akhirnya juga akan sama saja.”

“udah nis, udah. Aku capek ngomong sama orang yang punya pikiran kayak kamu.”

Aku hancur. Bahkan bukan lagi berbentuk pecahan, tapi serpihan. Begitu perih perkataan itu menerjangku dengan ganasnya. Dia memang berusaha menyadarkanku dari kelalaian ini, tapi dia salah mengutarakan dan menenangkan pendapat pada orang yang hampir mati.

Aku cukup kecewa di antara kerapuhan ini. aku sama sekali tidak bisa bangkit. Sehari-hari hanya ku isi dengan tangis, murung dan menyesal. Apa yang harus ku lakukan??? Hingga suatu hari, ada seorang penolong yang baik hati. Dia mau membantuku untuk menyelesaikan masalahku sampai ke akarnya. Untungnya masalah itu berhasil dan aku tak memikirkan apapun.

Final….

Ternyata mencintai “dia” adalah petaka. Bagaimana tidak?? Banyak sekali yang terkagum-kagum pada lelaki itu. dan semua menginginkan dia berada di samping mereka. Semula aku berkeinginan seperti itu, tapi begitu melihat teman-temanku cemburu dan menjauhiku, aku mundur teratur. Lagi pula tidak mungkin dia mencintaiku. Jika iya, itu hanya ada di mimpi atau hanya ada di khayalanku saja.

Setelah masalahku selesai, hidupku bahagia. Keluargaku jadi baik dan aku kembali pada jalan kebenaran. Aku jadi rajin sholat dan memperbaiki tabiatku yang buruk. Hampir-hampir aku lost contact dengan dia. Tapi lagi-lagi dengan liar dia masuk ke kehidupanku. Tapi memang dasar dia kurang ajar. Begitu dia masuk ke dalam hatiku, dia langsung mencabik-cabik dinding kalbuku. Dia tak pernah bersikap normal lagi. Dia selalu berlalu sok tak kenal jika aku melintas di depannya. Dan dia juga selalu menghindari tatapanku tiap kali aku berusaha mencari sesuatu di matanya.

Hingga pada suatu hari…..

Salah seorang temanku bernama Putri sedikit kesal denganku. Dia tak pernah membalas smsku dan selalu menjawab smsku dengan kata-kata sinis. Aku bingung, aku gelisah, aku gundah. Semua dilemma dan segala pikiran buruk merasukiku waktu itu. dan membiarkan aku dalam gelimang keresahan.

Setelah kuselidiki, ternyata dia marah karena aku dekat dengan “dia”. Seketika bibirku kelu. Tak bisa menyampaikan sebaris katapun padanya. Aku tidak ingin bertemanan yang sudah di bangun ini harus hancur karena makhluk bernama lelaki. Aku pun memutuskan untuk membuat komitmen dengan dia. Aku tidak akan membalas semua smsnya. Dan aku akan menjauhinya sebisa mungkin.

Mulanya rencana itu mendapat protes dari dia. Tapi dengan santainya aku menjalankannya meskipun dia tak pernah berhenti mengganggu pertapaan ini. entah apa yang terjadi selanjutnya, yang pasti rasa cintaku makin besar. Dan aku menuliskan beberapa catatan di facebookku mengenai dia. Dan setiap aku membuka facebook, selalu status itu ku tujukan padanya. Tapi dia sama sekali tidak pernah melihat. Dia tidak peduli tenang apa yang sudah terjadi padaku.

Aku mencintai dia. Sangat. Tapi dia tak pernah memperdulikan perasaanku yang selalu tersayat begitu melihat dia lewat depan mataku tanpa senyum, tanpa melihat dan acuh tak acuh seolah aku hanya patung. Atau, jangan-jangan dia sudah merasa terkenal dan ingin di sapa duluan? aku gila. Aku pusing. Semua. Aku merasa semua pikirn negative masuk ke otakku dan mempengaurhiku untuk semakin berpikir negative terhadap dia.

Sampai pada suatu saat, seorang guru masuk ke kelasku dengan kalimat-kalimat yang menyentuh dan membuatku sadar akan arti cinta sesungguhnya. Tak perlu ku jelaskan bagaimana kalimatnya. Yang jelas, guru itu mengatakan. Boleh saja aku mencintai siapapun di dunia ini. asal cinta pertama kita harus berlabuh pada satu kekuatan. Yaitu kekuatan Sang pencipta. Yang kedua, sebelum memasukkan seseorang ke hati kita, kita harus mencintai keluarga yang denga susah payah menghidupi kita hingga dewasa. Dengan kalimat yang sangat baik dan indah, guru itu membuatku sadar dan membuat semua syaraf motorik dan sensorikku untuk menangis .

Malamnya aku menulis beberapa catatan dan mempublikasikannya pada semua teman. Termasuk padanya. Aku tak peduli, dia mau lihat atau tidak. Yang penting aku sudah berusaha untuk menyatakan galau hati selama ini. tapi meskipun aku sudah menuliskan beberapa catatan di situ, aku tidak berharap dia menembakku dan menjadikannya pacar. Aku hanya senang melihat dia tertawa, bahagia melihatnya bahagia, dan lega melihat dia tersenyum setiap saat. Meskipun senyum itu bukan di tujukan untuk diriku. Aku tidak munafiq, sebelum ini aku merasa cemburu pada setiap orang yang dekat dengannya. Termasuk dengan sahabat wanitanya.

Tapi sekarang tidak. Hari ini, aku sedang tersenyum melihat dia. Melihat smsnya yang ingin sekali mengetahui pada siapa aku menuliskan catatan itu. aku pun menyuruhnya untuk menerjemahkan sendiri dan aku siap jika dia harus menjauh. dia hanya janji padaku, dia akan memberitahuku jika dia sudah menemukan pada siapa cintaku berlabuh. Dan aku sama sekali tidak menharapkan apapun atas cintaku ini terhadapnya.

Untuk Dia yang aku cintai…

Cintaku tak pernah padam….

Meski hanya secuil…

Cintaku akan selalu bersenadung

Meskipun kau jauh dari aku

Dengarlah…

Aku mencintaimu

Tanpa ada alasan

Aku mencintaimu

Tanpa menuntut balas………


dia disini adalah dia yang aku cintai entah sampai kapan. meskipun aku berusaha menghapus semuanya. tapi dalam hati kecilku, aku tetap menunggu dirinya

Love is...
© membuka dunia! - Template by Blogger Sablonlari - Font by Fontspace