Mengenai Saya

Foto saya
saya adalah saya, bukan anda atau dia.

Rabu, 27 Juni 2012

“KONDOMISASI” KEBIJAKAN MENTERI KESEHATAN DALAM KACA MATA HUKUM

Menteri kesehatan, Dr. Nafsiah Mboi telah menggemparkan negeri ini. Beberapa hari yang lalu beliau memaparkan usulan barunya berupa sosialisasi pembagian kondom secara gratis pada pelaku seks beresiko yang kerap disebut dengan istilah kondomisasi. Menurut beliau, kondomisasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi tingkat praktik aborsi, penyakit seks menular dan kasus kehamilan yang tidak direncanakan di kalangan remaja. Kondomisasi yang dicanangkan beliau ini juga dianggap efektif dalam mengurangi angka penderita HIV/AIDS yang merebak di Indonesia. Di negeri ini, penderita HIV/AIDS mengalami lonjakan angka yang luar biasa dari tahun 1987 sampai maret 2012. Jakarta terbilang kota yang memiliki kasus terbanyak mengenai HIV yang mencapai 20.016 kasus dan AIDS sebanyak 5.118 kasus. Di jawa timur tercatat 4.663 kasus AIDS dan papua sebesar 4.469 kasus serupa. Kumulasi dari penderita di Indonesia adalah 82.870 kasus untuk HIV dan 30.430(1) kasus untuk AIDS. Semakin tahun nampaknya kasus HIV/AIDS ini makin meresahkan masyarakat dan elemen-elemen yang peka terhadap kesehatan. Penularan virus HIV tersebut banyak melalui hubungan seks bebas dan jarum suntik. Selain angka penderita HIV/AIDS yang meresahkan, masyarakat Indonesia juga telah terserang budaya free sex yang merebak di penjuru kota terutama metropolitan. Menurut menteri kesehatan, free sex ini kebanyakan dilakukan oleh remaja usia 15-25(2) tahun . Belum lagi dengan keberadaan lokalisasi (prostitusi) yang juga semakin eksis di negara Indonesia tanpa ada batasan yang berarti. Keadaan yang meresahkan ini tentunya membuat penggiat kesehatan berputar otak untuk melakukan perubahan. Mencari solusi yang mungkin bisa digunakan agar virus-virus jahanam tersebut tidak semakim meluas dan menular pada orang-orang yang tidak ikut berbuat demikian. Mungkin alasan mengapa menteri kesehatan yang berkewajiban menjaga kesehatan negara untuk melakukan pembaharuan berupa sosialisasi kondom adalah hal ini. Namun tidak disangka-sangka ternyata menunai banyak konflik di berbagai kalangan. Kalangan agamis, LSM, DPR hingga khalayak ramai. Segala bentuk media pun gempar dengan rencana dan pemikiran Dr. Nafsiah Mboi tersebut. Lalu, siapakah yang pantas disalahkan jika duduk permasalahannya demikian? Ada beberapa hal menarik yang perlu dilihat dari usulan kondomisasi tersebut. Pertama, proses pemberian kondom secara gratis atau dapat disebut kondomisasi, bukanlah langkah pertama yang dilakukan beberapa negara di kancah Internasional. Amerika Serikat pernah menggunakan cara ini dengan maksud mengurangi angka penderita HIV/AIDS (3) di negara tersebut. Namun sampai saat ini pembunuh nomor satu di negara paman Sam itu bukan penyakit jantung atau kanker, melainkan HIV/AIDS . Menurut penelitian yang dilakukan beberapa negara, kondom memiliki pori-pori yang dapat ditembus oleh virus HIV/AIDS(4) , sehingga akan berakhir sia-sia melakukan hubungan seks dengan kondom apabila terdapat virus tersebut. Kedua, dari aspek moral dan agama, pemberian kondom seolah-olah melegalkan adanya sex bebas yang dilakukan oleh masyarakat. Meskipun menteri kesehatan sempat meralat fokus pemberian kondom ini pada remaja yang rawan seks beresiko. Tetap saja hal ini tidak sesuai dengan norma agama yang mayoritas beragama islam dan sangat mengharamkan hal tersebut. ketiga, negara Indonesia bukan negara yang liberal sehingga permasalahan seks, kondom dan unsur-unsurnya dapat ditemui dan tidak tabu dibicarakan secara vulgar sedemikian rupa. Dalam sila kedua pancasila telah disebut bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab, apakah beradab bila negara memicu sex bebas dengan memberikan fasilitas berupa kondom? Dilihat dari beberapa aspek, pembagian kondong tersebut bukanlah solusi yang efektif untuk mengurangi kegelisahan yang timbul pada benak penggiat kesehatan. Lantas, kebijakan apalagi yang dapat dilakukan untuk mengurangi hal tersebut? Seluruh elemen yang mengatur negara ini merupakan sebuah sistem yang tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Akan mustahil rasanya apabila kubu kesehatan menanggulangi sendiri permasalahan yang ada di Indonesia. Jika memaksakan kehendak untuk jalan sendiri-sendiri, walhasil bertabrakan dengan kehendak lain di negara ini. Usulan menteri kesehatan serta alasan-alasan beliau kuat ikatannya dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Secara substansial, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perzinahan atau seks luar nikah. Dalam pasal 284 KUHP dinyatakan bahwa: “diancam pidana penjara paling lama Sembilan bulan: Ke-1 a. seorang pria telah menikah yang melakukan Zina,padahal diketahui, bahwa pasal 27 BW(5) berlaku baginya. b. seorang wanita telah menikah yang melakukan zina.” Satu-satunya peraturan perundang-undangan yang mengatur perzinahan adalah KUHP, namun substansinya tidak lagi sesuai dengan culture di Indonesia. Dinyatakan dengan jelas dalam pasal 284 tersebut, yang dapat dikenai sanksi pindana perbuatan zina adalah bagi wanita atau pria yang telah menikah. Tentunya tidak ada masalah dengan perbuatan Zina yang dilakukan muda-mudi yang belum ada ikatan pernikahan. Hal ini tidak jadi persoalan apabila masyarakat merasa fine-fine saja dengan adanya free sex, bahkan seharusnya masyarakat berterima kasih terhadap pemikiran menteri kesehatan yang memberikan usulan kondomisasi. Namun pada kenyataannya, masyarakat Indonesia merasa kondomisasi bersifat amoral. Penegak hukum atau struktur dalam sistem hukum sendiri pantas jika hanya berdiam diri. Karena dari substansinya, Indonesia memang tidak memberikan batasan-batasan perihal seks bebas yang mengakibatkan fatalnya masalah kesehatan. Ketidaksinkronisasi inilah yang menjadi akar permasalahan sulitnya penarikan kebijakan untuk saling membenahi kesalahan-kesalahan dalam negeri. Dengan keadaan seperti itu, perlu lah adanya persamaan misi dalam sistem hukum sendiri mengenai perzinahan. Yaitu berupa perombakan pasal 284 KUHP tersebut untuk mencantumkan dilarangnya free sex oleh siapapun dengan alasan kesusilaan, agama dan menganggu ketertiban umum. Sebuah wacana tentang KUHP yang dirancang Indonesia (bukan WvS buatan Belanda) telah merancang hal tersebut tertuang dalam pasal 420. Namun belum diterbitkan karena belum menemukan kata sepakat. Apabila KUHP Indonesia masih belum dapat diandalkan, pemerintah sebagai apatur penegak hukum dapat pula mengatur hal tersebut pada perundang-undangan diluar KUHP semisal UU tentang terorisme atau Narkotik. Sehingga permasalahan perzinahan ini tidak menjadi momok yang tak pernah ada selesainya. Dengan demikian, tak perlu adanya kondomisasi yang jelas-jelas mengalami pertentangan disana-sini. Atau kebijakan yang dinilai “amoral” dan “konyol” oleh masing-masing elemen masyarakat. jika substansi, culture dan struktur dalam sistem hukum dapat sejalan, maka akan tercipta batasan-batasan yang dapat dikendalikan dan meminimalisir kebobrokan yang ada seperti masalah perzinahan dan dampaknya. Sehingga naiknya angka penderita HIV/AIDS, free sex dan praktik aborsi dapat ditekan tanpa membuat ricuh masyarakat di Indonesia. ditulis oleh Anisatul Istiqomah Fadhilah sumber : sumber ditulis dalam kolom. 1. Dikutip dari MIco (media Indonesia.com), dalam berita yang ditulis tanggal 25 juni 2012 pukul 15:48. 2. Subandi Rianto, dalam tulisannya di okezone.com, menkes dalam nalar sosial “kondomisasi”. 3. Ragil Rahayu Wilujeng, dalam artikelnya di hidayatullah.com, dikutip oleh Hawadi, D (2006) dari pernyataan H.Jaffe (1995), dari pusat pengendalian penyakit Amerika serikat (US:CDC:united state center of diseases control) 4. Ibid. 5. Dalam Burgelijk Wetboek (KUHPerdata) pasal 27, “dalam waktu yang sama seorang lelaki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istri, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya.” *semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Love is...
© membuka dunia! - Template by Blogger Sablonlari - Font by Fontspace